Gawat! Pemerintah Setop Izin Smelter Nikel, Ada Apa dengan Harga dan Nasib Petani?

Gawat! Pemerintah Setop Izin Smelter Nikel, Ada Apa dengan Harga dan Nasib Petani?

55 NEWS – Pemerintah Indonesia secara resmi membekukan penerbitan Izin Usaha Industri (IUI) untuk smelter nikel baru. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2025 dan menjadi sinyal kuat untuk menata ulang industri nikel yang dinilai sudah terlalu ekspansif.

COLLABMEDIANET

Langkah ini dianggap sebagai upaya koreksi terhadap pertumbuhan smelter yang tidak seimbang dengan kebutuhan pasar global. Harapannya, pembatasan ini dapat membantu memulihkan harga nikel yang sempat tertekan. Namun, efektivitasnya tidak hanya bergantung pada pengendalian produksi.

 Gawat! Pemerintah Setop Izin Smelter Nikel, Ada Apa dengan Harga dan Nasib Petani?
Gambar Istimewa : img.okezone.com

Pemerintah juga perlu memastikan regulasi yang tegas, kebijakan yang konsisten, serta peta jalan dekarbonisasi yang jelas. Semua ini harus dilakukan dengan mengedepankan perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat di sekitar wilayah pertambangan.

Moratorium izin smelter ini berlaku bagi perusahaan pengolahan nikel baru yang menghasilkan produk antara, baik yang menggunakan teknologi pirometalurgi (RKEF) maupun hidrometalurgi (HPAL). Saat ini, sudah ada 54 smelter nikel yang beroperasi dan menyebabkan oversupply nikel olahan di pasar ekspor. Selain itu, ada 38 smelter yang sedang dalam tahap konstruksi dan 45 smelter dalam perencanaan.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menekankan bahwa moratorium izin smelter nikel baru harus diikuti dengan moratorium izin tambang nikel. Menurutnya, Kementerian ESDM telah menyetujui 292 Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) dengan total luas IUPK mencapai 866.292 hektare.

"Dengan konsesi yang begitu luas dan izin tambang yang terus bertambah, moratorium smelter saja tidak cukup. Tanpa kontrol di sektor hulu, tekanan akan bergeser dari industri pengolahan ke kawasan tambang, memperparah kerusakan ekologis dan konflik sosial," ujar Bhima, Minggu (9/11/2025).

Celios dan CREA memperkirakan kerugian pendapatan petani dan nelayan di wilayah nikel mencapai USD234,84 juta (Rp3,64 triliun) dalam 13 tahun mendatang. Selain itu, diprediksi akan ada lebih dari 3.800 kematian dini pada tahun 2025 dan hampir 5.000 kasus pada tahun 2030 akibat dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan nikel.

Editor: Akbar soaks

Jika keberatan atau harus diedit baik Artikel maupun foto Silahkan Laporkan! Terima Kasih

Tags:

Ikutikami :

Tinggalkan komentar