55 NEWS – Penggunaan etanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) bukanlah hal baru di kancah global. Negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika Serikat, hingga Australia, telah lama menerapkan campuran etanol hingga 10% dalam BBM mereka. Bahkan, penambahan etanol ini dipandang positif karena mampu menekan emisi karbon dan mendukung transisi energi yang lebih berkelanjutan.

Related Post
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Ketahanan Energi Untuk Pembangunan Berkelanjutan Universitas Indonesia (Puskep UI), Ali Ahmudi, menjelaskan bahwa perusahaan energi global seperti Shell, Total, dan BP, lazim menggunakan etanol dalam BBM di luar negeri. Langkah ini bukan hanya soal bisnis, tetapi juga komitmen untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

"Ini sudah menjadi tren global. Perusahaan-perusahaan besar di luar negeri sudah lama melakukannya," ujar Ali di Jakarta, Jumat (3/10/2025).
Lantas, mengapa sejumlah SPBU swasta di Indonesia justru menolak BBM impor Pertamina yang mengandung etanol 3,5%? Padahal, kandungan etanol tersebut jauh lebih rendah dibandingkan standar yang diterapkan di negara lain, dan seharusnya aman untuk mesin kendaraan modern yang dirancang lebih ramah lingkungan.
Ali mempertanyakan alasan penolakan tersebut. Menurutnya, kendaraan keluaran tahun 2010 ke atas umumnya sudah memiliki teknologi yang adaptif terhadap bahan bakar beretanol. "Justru di berbagai negara, kandungan etanolnya jauh di atas 3,5%. Jadi, apa alasan penolakannya? Apakah alasan major atau minor?" tanyanya.
Penolakan ini menimbulkan tanda tanya besar. Mengingat manfaat etanol dalam mengurangi emisi karbon dan mendukung transisi energi, alasan penolakan SPBU swasta ini perlu dikaji lebih dalam. Apakah ada faktor lain di balik penolakan ini, selain dari sekadar kekhawatiran teknis?
Editor: Akbar soaks









Tinggalkan komentar