55 NEWS – Kebijakan pemerintah mengucurkan dana sebesar Rp200 triliun ke lima bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memicu pertanyaan besar: apakah suntikan dana jumbo ini akan efektif mendongkrak pertumbuhan kredit dan menggairahkan perekonomian nasional? Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai dampak kebijakan ini tidak akan serta merta signifikan.

Related Post
Dana segar tersebut didistribusikan ke Bank Mandiri (Rp55 triliun), BNI (Rp55 triliun), BRI (Rp55 triliun), BTN (Rp25 triliun), dan BSI (Rp10 triliun). Namun, efektivitas penyaluran dana ini sangat bergantung pada permintaan kredit di pasar. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, hingga Juli 2025, penyaluran kredit mencapai Rp8.043,2 triliun, tumbuh 7,03% secara tahunan. Meskipun tumbuh, angka ini melambat dibandingkan bulan sebelumnya.

"Likuiditas masuk ke bank Himbara dari skema Rp200 triliun, tapi yang jadi pertanyaan apa permintaan kreditnya naik signifikan? Ini tergantung dari beberapa faktor, daya beli masyarakat, kepercayaan dunia usaha dan kebijakan pajak," ujar Bhima kepada 55tv.co.id.
Perlambatan pertumbuhan kredit mencerminkan melemahnya daya beli masyarakat. Pelaku usaha cenderung menahan diri untuk melakukan ekspansi di tengah tekanan daya beli dan kebijakan pajak yang ada. Oleh karena itu, Bhima menekankan bahwa sekadar menempatkan dana di bank BUMN tidaklah cukup.
Menurutnya, diperlukan stimulus fiskal tambahan untuk memicu aktivitas konsumsi masyarakat. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah menurunkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 8%. Langkah ini diyakini dapat mendorong geliat ekonomi di tingkat masyarakat.
Editor: Akbar soaks









Tinggalkan komentar