55 NEWS – Indonesia, sebagai pemasok nikel terbesar di dunia, menghadapi tantangan besar terkait penerapan prinsip-prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) di sektor pertambangan. Data terbaru menunjukkan bahwa dari sekitar 4.500 izin usaha pertambangan (IUP) yang beroperasi, kurang dari 10% yang benar-benar memahami dan menerapkan ESG secara komprehensif.

Related Post
Kondisi ini diungkapkan oleh Sekretaris Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Siti Sumilah Rita Susilawati. Ia menyoroti bahwa sebagian besar pemegang IUP, terutama perusahaan-perusahaan kecil, belum memiliki pemahaman yang memadai tentang pentingnya ESG. Hal ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dan seluruh stakeholder terkait.

Penerapan ESG dalam subsektor pertambangan minerba sangat krusial untuk meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Selain itu, ESG juga menjadi kunci keberlanjutan usaha dan peningkatan daya saing perusahaan tambang di pasar global yang semakin peduli terhadap isu-isu keberlanjutan.
Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menekankan perlunya payung hukum yang jelas untuk mengatur penerapan ESG di perusahaan tambang. Regulasi ini diharapkan dapat mendorong perusahaan untuk lebih serius dalam menjalankan praktik-praktik ESG, termasuk pemberian sanksi bagi yang melanggar.
APNI juga memberikan masukan kepada pemerintah agar regulasi ESG yang dibuat sesuai dengan kondisi Indonesia, namun tetap memenuhi standar internasional. Hal ini penting agar produk nikel Indonesia tetap dapat diterima di pasar global yang semakin ketat dalam hal keberlanjutan.
Chief Executive Officer Landscape Indonesia, Agus Sari, menambahkan bahwa peran nikel dalam perekonomian Indonesia semakin signifikan, terutama dalam kontribusinya terhadap perekonomian daerah dan kinerja ekspor nasional. Oleh karena itu, penerapan ESG yang baik akan semakin memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama di pasar nikel global.
Editor: Akbar soaks
Tinggalkan komentar