55 NEWS – Pernyataan Bank Dunia yang menyebut 60% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional memicu kontroversi. Angka tersebut, berdasarkan standar negara berpendapatan menengah atas (USD 6,85 per orang per hari), menimbulkan pertanyaan besar terkait kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, memberikan klarifikasi penting yang perlu dipahami publik.

Related Post
Amalia menjelaskan bahwa standar garis kemiskinan Bank Dunia tersebut menggunakan acuan Purchasing Power Parity (PPP) tahun 2017, khusus untuk negara berpendapatan menengah atas. Artinya, angka tersebut tak bisa langsung dikonversi dengan nilai tukar rupiah saat ini. Lebih lanjut, ia menekankan perbedaan mendasar dalam metodologi penghitungan garis kemiskinan antar negara.

"Standar Bank Dunia itu tidak bisa serta merta diterapkan di Indonesia," tegas Amalia dalam keterangan pers di Jakarta. BPS, menurutnya, menggunakan pendekatan yang lebih spesifik dan mencerminkan realitas kondisi di Indonesia. Garis kemiskinan nasional dihitung berdasarkan karakteristik dan standar hidup masing-masing provinsi, yang tentu saja sangat beragam.
Amalia mencontohkan perbedaan signifikan antara standar hidup di Jakarta dengan Papua Selatan. "Jelas, garis kemiskinan di Jakarta berbeda dengan di Papua Selatan," ujarnya. BPS mengagregasikan data kemiskinan dari seluruh provinsi untuk mendapatkan angka kemiskinan nasional, sehingga menghasilkan gambaran yang lebih akurat dan relevan dengan kondisi di lapangan. Dengan demikian, angka 60% yang dirilis Bank Dunia perlu dilihat dalam konteks metodologi yang berbeda dan tidak bisa secara langsung dibandingkan dengan data kemiskinan versi BPS.
Perbedaan metodologi ini menjadi kunci pemahaman yang benar terkait angka kemiskinan di Indonesia. Penggunaan PPP tahun 2017, standar negara berpendapatan menengah atas, dan perbedaan karakteristik antar wilayah menjadi faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam menginterpretasi data kemiskinan. Publik diharapkan tidak terburu-buru mengambil kesimpulan berdasarkan satu sumber data saja, melainkan perlu memahami konteks dan metodologi yang digunakan.
Editor: Akbar soaks
Tinggalkan komentar